Teori Perubahan Perilaku
Hal
yang penting dalam perilaku kesehatan adalah masalah pembentukan dan perubahan
perilaku. Karena perubahan perilaku merupakan tujuan dari pendidikan atau
penyuluhan kesehatan sebagai penunjang program-program kesehatan lainnya.
Berikut beberapa teori tentang perubahan perilaku:
1.3.1. Teori Stimulus Organisme (SOR)
Teori
ini didasarkan pada asumsi bahwa penyebab terjadinya perubahan perilaku
tergantung pada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan
organisme. Artinya, kualitas dari sumber komunikasi (sources) misalnya kredibilitas kepemimpinan, dan gaya berbicara
sangat menentukan keberhasilan perubahan perilaku seseorang, kelompok, atau
masyarakat.
Hosland,
et al (1953) mengatakan bahwa
perubahan perilaku pada hakikatnya adalah sama dengan proses belajar. Proses
perubahan perilaku tersebut menggambarkan proses belajar pada individu yang
terdiri dari:
a) Stimulus
(rangsang) yang diberikan kepada organisme dapat diterima atau ditolak. Apabila
stimulus tersebut tidak diterima atau ditolak berarti stimulus itu tidak
efektif dalam mempengaruhi perhatian individu, dan berhenti di sini. Tetapi
bila stimulus diterima oleh organisme bearti ada perhatian dari individu dan
stimulus tersebut efektif.
b) Apabila stimulus
telah mendapatkan perhatian dari organisme (diterima) maka ia mengerti stimulus
ini dan dilanjutkan kepada proses berikutnya.
c) Setelah itu
organisme mengolah stimulus tersebut sehingga terjadi kesediaan untuk bertindak
demi stimulus yang telah diterimanya (bersikap).
d) Akhirnya dengan
dukungan fasilitas serta dorongan dari lingkungan maka stimulus tersebut
mempunyai efek tindakan dari individu tersebut (perubahan perilaku).
Selanjutnya
teori ini mengatakan bahwa perilaku dapat berubah hanya apabila stimulus
(rangsang) yang diberikan benar-benar melebihi dari stimulus semula. Stimulus
yang dapat melebihi stimulus semula ini bearti stimulus yang diberikan harus
dapat meyakinkan organisme. Dalam meyakinkan organisme faktor reinforcement
memegang peranan penting.
1.3.2. Teori Festinger (Dissonance Theory)
Teori
dissonance (Cognitive dissonance theory) diajukan
oleh Festinger (1957) telah banyak pengaruhnya dalam psikologi social.
Teori
ini sebenarnya sama dengan konsep imbalance
(tidak seimbang). Hal ini bearti bahwa keadaan cognitive dissonance merupakan ketidakseimbangan psikologis yang
diliputi oleh ketegangan diri yang
berusaha untuk mencapai keseimbangan kembali. Apabila terjadi keseimbangan
dalam diri individu, maka berarti sudah terjadi ketegangan diri lagi, dan
keadaan ini disebut consonance (keseimbangan).
Dissonance (ketidakseimbangan) terjadi
karena dalam diri individu terdapat 2 elemen kognisi yang saling bertentangan.
Elemen kognisi tersebut adalah pengetahuan, pendapat atau keyakinan. Apabila
individu menghadapi suatu stimulus atau objek, dan stimulus tersebut
menimbulkan pendapat atau keyakinan yang berbeda/ bertentangan di dalam diri
individu itu sendiri, maka terjadilah dissonance.
Sherwood and Borrou merumuskan dissonance
itu sebagai berikut:
Rumus ini menjelaskan bahwa
ketidakseimbangan dalam diri seseorang yang akan menyebabkan perubahan perilaku
dikarenakan adanya perbedaan jumlah elemen kognitif yang seimbang dengan jumlah
elemen kognitif yang tidak seimbang dan
sama-sama pentingnya. Hal ini menimbulkan konflik pada diri individu tersebut.
Contohnya seorang ibu rumah tangga
yang berkerja di kantor. Di satu sisi, dengan bekerja ia mendapat tambahan
pendapatan bagi keluarganya, yang akhirnya dapat memenuhi kebutuhan bagi
keluarga dan anak-anaknya, termasuk kebutuhan makanan yang bergizi. Apabila ia
tidak bekerja, jelas ia tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok keluarganya. Di
sisi lain, apabila ia bekerja, ia khawatir perawatan anak-anaknya akan
menimbulkan masalah. Dua elemen (argumentasi) ini sama-sama pentingnya, yakni
rasa tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga yang baik.
Titik berat dari penyelesaian
konflik ini adalah penyesuaian diri secara kognitif. Dengan penyesuaian diri
ini maka akan terjadi keseimbangan kembali. Keberhasilan yang ditunjukkan
dengan tercapainya keseimbangan kembali menunjukkan adanya perubahan sikap, dan
akhirnya akan terjadi perubahan perilaku.
1.3.3. Teori Fungsi
Teori ini berdasarkan anggapan bahwa
perubahan perilaku individu tergantung kepada kebutuhan. Hal ini bearti bahwa
stimulus yang dapat mengakibatkan perubahan perilaku seseorang adalah stimulus
yang dapat dimengerti dalam konteks kebutuhan orang tersebut. Menurut Katz
(1960) perilaku dilatarbelakangi oleh kebutuhan individu yang bersangkutan.
Katz berasumsi bahwa:
a)
Perilaku memiliki fungsi instrumental, artinya dapat
berfungsi dan memberikan pelayan terhadap kebutuhan. Seseorang dapat bertindak
(berperilaku) positif terhadap objek demi pemenuhan kebutuhannya. Sebaliknya
bila objek tidak dapat memenuhi kebutuhannya maka ia akan berperilaku negatif.
Misalnya, orang mau membuat jamban apabila jamban tersebut benar-benar sudah
menjadi kebutuhannya.
b)
Perilaku berfungsi sebagai defence mechanism atau sebagai pertahanan diri dalam menghadapi
lingkungannya. Artinya, dengan perilakunya, dengan tindakan-tindakannya,manusia
dapat melindungi ancaman-ancaman yang datang dari luar. Misalnya, orang dapat
menghindari penyakit demam berdarah, karena penyakit tersebut merupakan ancaman
bagi dirinya.
c)
Perilaku berfungsi sebagai penerima objek dan pemberi
arti. Dalam perannya dengan tindakan itu seseorang senantiasa menyesuaikan diri
dengan lingkungannya. Dengan tindakan sehari-hari tersebut seseorang melakukan
keputusan-keputusan sehubungan dengan objek atau stimulus yang dihadapi.
Pengambilan keputusan mengakibatkan tindakan-tindakan tersebut dilakukan secara
spontan dan dalam waktu yang singkat. Misalnya, bila seseorang merasa sakit
kepala, maka dengan cepat, tanpa piker lama, ia akan bertindak untuk mengatasi
rasa sakit tersebut dengan membeli obat kemudian meminumnya, atau
tindakan-tindakan lainnya.
d)
Perilaku berfungsi sebagai nilai ekspresif dari diri
seseorang dalam menjawab suatu situasi. Nilai ekspresif ini berasal dari konsep
diri seseorang dan merupakan pencerminan dari hati sanubari. Oleh sebab itu,
perilaku dapat merupakan layar di mana segala ungkapan diri prang dapat
dilihat. Misalnya orang yang sedang marah, senang, gusar, dan sebagainya dapat
dilihat dari perilaku atau tindakannya.
Teori ini berkeyakinan bahwa
perilaku mempunyai fungsi untuk menghadapi dunia luar individu, dan senantiasa
menyelesaikan diri dengan lingkungannya menurut kebutuhannya. Oleh sebab itu di
dalam kehidupan manusia perilaku itu tampak terus-menerus dan berubah secara
relative.
1.3.4. Teori Kurt Lewin
Kurt Lewin (1970) berpendapat bahwa
perilaku manusia adalah suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan-kekuatan
pendorong (driving forces) dan
kekuatan-kekuatan penahan (restining forces). Perilaku ini dapat berubah
apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan tersebut di dalam diri
seseorang sehingga ada tiga kemungkinan terjadinya perubahan perilaku pada diri
seseorang yakni;
a)
Kekuatan-kekuatan pendorong meningkat. Hal ini terjadi
karena adanya stimulus-stimulus yang mendorong untuk terjadinya
perubahan-perubahan perilaku. Stimulus ini berupa penyuluhan-penyuluhan atau
informasi-informasi sehubungan dengan perilaku yang bersangkutan. Misalnya,
seseorang yang belum ikut KB (ada keseimbangan antara pentingnya mempunyai anak
sedikit dengan kepercayaan banyak anak banyak rezeki) dapat berubah perilakunya
ber-KB, dinaikkan dengan penyuluhan-penyuluhan atau usaha-usaha lain.
b)
Kekuatan-kekuatan penahan menurun. Hal ini terjadi
karena adanya stimulus-stimulus yang memperlemah kekuatan penahan tersebut.
Misalnya pada contoh diatas. Dengan memberikan pengertian kepada orang tersebut
bahwa banyak anak banyak rezeki adalah kepercayaan yang salah, maka kekuatan
penahan tersebut melemah dan akan terjadi perubahan perilaku pada orang
tersebut.
c)
Kekuatan pendorong meningkat, kekuatan penahan
menurun. Dengan keadaan semacam ini jelas akan terjadi perubahan perilaku.
Seperti pada contoh juga, penyuluhan KB yang memberikan pengertian terhadap
orang tersebut tentang pentingnya ber-KB dan tidak benarnya kepercayaan banyak
anak banyak rezeki akan meningkatkan kekuatan pendorong, dan sekaligus
menurunkan kekuatan penahan.
Daftar Pustaka:
Notoatmodjo,
Soekidjo. Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. 2007.
Hal: 183-188.
Komentar
Posting Komentar