HUBUNGAN ANTARA POLA MAKAN TERHADAP STATUS STUNTING PAD A BALITA


HUBUNGAN ANTARA POLA MAKAN TERHADAP STATUS STUNTING PAD A BALITA
Poppy Mila Fadriani 1), Zaza Yunda Putri2)
1Mahasiswi Preklinik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala
2Mahasiswi Preklinik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala
Jl. Teuku Nyak Arief, Kopelma Darussalam, Kecamatan Syiah Kuala,
Kota Banda Aceh, Aceh 23111

Stunting pada balita merupakan salah satu permasalahan gizi secara global. Berdasarkan data profil kesehatan Indonesia tahun 2012, tiga angka prevalensi stunting tertinggi di ASEAN adalah Laos (48%), Kamboja (40%), dan Indonesia (36%).1 Stunting adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) dengan ambang batas (Z-score) ≤ 2 Standar Deviasi (SD).1 Stunting pada usia dini meningkatkan angka kematian bayi dan anak, menyebabkan penderita mudah sakit dan memiliki postur tubuh tidak maksimal saat dewasa. Kemampuan kognitif penderita stunting juga berkurang, sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi jangka panjang bagi Indonesia.2
Kejadian stunting sering dijumpai pada anak usia 12-36 bulan dengan prevalensi sebesar 38,3 – 41,5%. Pada kelompok usia 24-35 bulan merupakan kelompok usia yang paling besar beresiko untuk mengalami stunting. Keadaan gizi yang baik dan sehat pada masa anak balita merupakan hal yang penting bagi kesehatannya. Pada usia 12-24 bulan merupakan masa yang rawan bagi balita karena pada masa ini sering terjadi infeksi atau gangguan status gizi, serta pada usia tersebut balita mengalami peralihan dari bayi menjadi anak-anak.3
Stunting seringkali dianggap sebagai faktor  genetik (keturunan) dari kedua orangtuanya, sehingga masyarakat banyak yang menerima tanpa berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Padahal genetika merupakan faktor determinan kesehatan yang paling kecil pengaruhnya bila dibandingkan dengan faktor perilaku, lingkungan (sosial, ekonomi, budaya, politik), dan pelayanan kesehatan. Dengan kata lain, stunting merupakan masalah yang sebenarnya dapat dicegah.
Terdapat tiga hal yang harus diperhatikan dalam pencegahan stunting, yaitu perbaikan terhadap pola makan, pola asuh, serta perbaikan sanitasi dan akses air bersih. Upaya perbaikan / peningkatan gizi dilakukan dengan cara memenuhi kebutuhan gizi anak salah satunya melalui pengaturan pola makan. Asupan gizi yang seimbang dari makanan berpengaruh dalam proses pertumbuhan pada anak diikuti dengan pola makan yang baik dan teratur yang perlu diperkenalkan sejak dini.2 Dalam penelitian Waladow (2012) dikatakan bahwa pola makan yang baik belum tentu makanannya terkandung asupan gizi yang benar. Banyak balita yang memiliki pola makan baik tapi tidak memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang
memenuhi syarat gizi seimbang. Asupan gizi seimbang dari makanan memegang peranan penting dalam proses pertumbuhan anak. Hal ini menunjukkan bahwa stunting banyak terdapat pada anak yang pola makannya kurang.2
Pola makan yang baik terdiri dari mengonsumsi makanan yang berkualitas yaitu mengonsumsi makanan yang sehat dan bervariasi, serta mengonsumsi makanan yang cukup dari segi kuantitas diikuti dengan menerapkan perilaku makan yang benar.4 Pola pemberian makan adalah gambaran asupan gizi mencakup macam, jumlah, dan jadwal makan dalam pemenuhan nutrisi. Jenis konsumsi makanan sangat menentukan dalam status gizi seorang anak, makanan yang berkualitas baik jika menu harian memberikan komposisi menu yang bergizi, berimbang dan bervariasi sesuai dengan kebutuhannya.3 Menurut Kemenkes RI (2014) prinsip pola makan berpedoman pada gizi seimbang. Gizi seimbang memiliki 4 pilar diantaranya konsumsi makanan beragam atau bervariasi, perilaku hidup bersih, melakukan aktivitas fisik untuk membantu proses metabolisme tubuh dengan baik, dan mempertahankan serta memantau berat badan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Subarkah (2016) bahwa pola pemberian makan yang tepat pada balita, menjadikan sebagian besar balita memiliki status gizi normal.3
Rendahnya pola asuh juga menyebabkan buruknya status gizi balita. Jika hal ini terjadi pada masa golden age maka akan menyebabkan otak tidak dapat berkembang secara optimal dan kondisi ini sulit untuk dapat pulih kembali. Pola asuh yang kurang dalam hal ini adalah pada indikator praktek pemberian makan. Ibu yang memiliki anak stunting memiliki kebiasaan menunda ketika memberikan makan kepada balita. Selain itu, ibu memberikan makan kepada balita tanpa memperhatikan kebutuhan zat gizinya. Kondisi ini menyebabkan asupan makan balita menjadi kurang baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya sehingga balita rawan mengalami stunting. Terdapat hubungan antara praktik pemberian makan kepada balita
dengan status gizi. Praktik pemberian makan berhubungan dengan kualitas konsumsi makanan yang pada akhirnya akan meningkatkan kecukupan zat gizi. Tingkat kecukupan zat gizi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi status gizi pada balita5



Daftar Pustaka                                                                        
1.      Kemenkes. Keputusan Menteri Kesehatan RI tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2010.
2.      Mentari, Suharmianti. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Stunting Anak Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja UPK Puskesmas Siantang Hulu. Pontianak Nutrition Journal (PNJ) - Vol. 01 No. 01 Tahun 2018. Hal 1-4.
3.      Robeta, L. (2017). Analisis Faktor Pola Pemberian Makan Pada Balita Stunting Berdasarkan Teori Transcultural Nursing. Surabaya: FKEP UNAIR.
4.      Sari, Hustiva, dkk. Hubungan Pola Makan dengan Status Gizi Anak Usia 3-5 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo Padang 2014. Jurnal Kesehatan Andalas. 2016; 5(2).
5.      Nining, Novita. dkk. Kreagaman Pangan, Pola Asuh Makan Dan Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan. Jurnal Gizi Indonesia (The Indonesian Journal of Nutrition)
Vol. 7, No. 1, Desember 2018 (22-29).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEDODONTIC TREATMENT TRIANGLE

INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI SINGLE COMPLETE DENTUR

KATA SERAPAN